Assalamu'alaykum
Tolak ukur keimanan seseorang tak bisa dilihat hanya dari cara bicaranya saja. Tak dapat pula dilihat dari perbuatan. Akan tetapi iman yang sesungguhnya ada di dalam hati dan keyakinan.
Orang yang lisannya banyak menghafal dalil dan hadist belum tentu masuk surga. Orang yang membela Islam mati-matian pun belum tentu pula masuk ke surga.
Sebagaimana paman Rasulullah SAW, Abu Thalib. Semasa hidupnya Abu Thalib berjuang hingga mempertaruhkan nyawa demi keponakannya. Abu Thalib meyakini ke-Rasulan Muhammad, Abu Thalib meyakini agama Allah. Namun semasa hidupnya, Abu Thalib enggan mengucapan kalimat syahadat.
Saat Abu Thalib mengalami sakaratul maut Baginda Nabi mendatanginya seraya berkata kepada pamannya. "Wahai paman, ucapkanlah kalimat Laa ilaaha illallah" Namun Abu Jahal dan Abdullah ibn Abi Umayyah mengatakan "Wahai Abu Thalib, apakah kamu mau meninggalkan agama yang telah dibawa oleh nenek moyang mu?". Baginda Nabi mengatakan kalimat yang sama hingga tiga kali, sebanyak itu pula baginda mendapat jawaban yang sama dari mereka. Dan akhirnya ruh Abu Thalib diangkat dan dia tidak mengucapkan kalimat syahadat. Baginda Rasul bersabda “Sungguh aku akan memohonkan ampun bagimu wahai pamanku, selama aku tidak dilarang oleh Allah"
Tak lama kemudian, Allah menegur Nabi Muhammad dengan menurunkan firman-Nya:
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak bisa memberikan hidayah (ilham dan taufiq) kepada orang-orang yang engkau cintai. Akan tetapi Allah memberikan hidayah tersebut kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya. Dan Allah lebih mengetahui siapa yang berhak untuk mendapatkan hidayah”
Jadi dalam keimanan kita tidak boleh setengah-setengah, harus dilakukan sepenuhnya. Dari lisan, perbuatan, dan keyakinan.
0 komentar:
Posting Komentar